Proses pendataan ikan tuna di beberapa lokasi di Indonesia bagian timur tak berjalan maksimal. Ada keengganan stakeholder untuk mau melaporkan hasil produksi dan volume ekspornya, salah satunya karena ingin menghindari pajak.
Sementara, untuk usaha perikanan skecil, rata-rata tuna tidak mencatat, karena lebih banyak ditujukan untuk pasar lokal. Di sisi pemerintah daerah, kapasitas tersedia pun tak memadai untuk melakukan pendataan ditambah lemahnya komitmen mereka untuk melakukan pendataan di pelabuhan-pelabuhan yang ada.
Demikian beberapa catatan yang disampaikan peneliti tuna dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran, Alexander M. Khan, Ph.D pada kegiatan Marine Podcasts: Deep Dive with Experts yang digelar oleh Pelakita.ID atas dukungan Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia ISKINDO dan PSDKU Unpad.
Sebagai host acara ini adalah koordinator bidang Informasi, Komunikasi dan Ketenagakerjaan DPP ISKINDO, Kamaruddin Azis.
Pembicara lainnya adalah Koordinator Monitoring dan Analisis Sumberdaya Ikan Direktorat Sumberdaya Ikan, DJPT KKP, Syahril A. Raup, pengamat ekonomi kelautan dan perikanan Dr Suhana.
“Permasalahan bukan hanya di situ, dari FAO memang disebutkan bahwa 16 persen tuna dunia dipasok dari Indonesia tetapi sedihnya, beberapa kali kami ke lapangan, kebanyakan yang melakukan industri ini adalah nelayan dari luar,” kata Alex.
Dia melakukan riset di Pelabuhan Ternte, di Pelabuhan Bacan, di Sorong, dan Larantuka serta Kupang termasuk pada perusahaan tuna Aneka Tuna Surabaya.
“Kapasitas kurang khususnya pendaratan yang dikeola oleh Pemda, kapasitas dan penganggaran. Pemda tidak melihat bahwa pendataan sebagai prioritas,” tambahnya.
Alex juga menyebut bahwa perlu revisi Permen No. 35/2014 tentang struktur pendataan atau Pedoman Umum Arsitektur Data Kelautan Dan Perikanan di Lingkungan Kementerian Kelautan Dan Perikanan dimana lapis penanggungjawabnya adalah Dinas.
“Saat ini degan perkembangan teknologi informasi, harusnya ada revisi terkait peraturan ini,” katanya.
0 Komentar