Di perairan pantai Selatan Pulau Jawa ada dua jenis lobster dominan, yaitu lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster batu (Panulirus penicillatus). Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 yang mencakup sentral penghasil lobster yakni Perairan Ujung Kulon Pandeglang, Pesisir Pangandaran, Cilacap, Kebumen, Gunung Kidul, Pacitan, Trenggalek, Banyuwangi, Selatan Bali hingga Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Di Kawasan Perairan Pangandaran ada 3 titik daerah penangkapan lobster di antaranya, Madasari, Pantai Timur Pangandaran, dan Majingklak. Karakteristik perairannya berkarang. Ini merupakan habitat utama udang karang atau lobster.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2008 hingga 2013 menunjukkan bahwa sebanyak sekitar 500 ton udang karang ditangkap di perairan Jawa Barat (jika dibandingkan dengan biota lain yang hanya mencapai 200 hingga 300 ton).
Belum berkembangnya teknologi budidaya lobster di Indonesia khususnya daerah Pangandaran termasuk salah satu faktor yang mendorong masyarakat cenderung memilih untuk menjual langsung lobster tersebut. Aktivitas pembesaran lobster yang berkembang di masyarakat masih banyak menghadapi berbagai kendala antara lain, kondisi peraian yang kurang mendukung, pakan, penyakit, dan waktu pemeliharaan yang relatif lama.
Pada pihak lain, aktivitas penangkapan dan ekspor yang berlangsung terus-menerus dengan jumlah yang terus meningkat, untuk jangka panjang dapat menyebabkan penurunan stok lobster di alam, jika pengelolaannya kurang terarah dan terkontrol. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap potensi lobster untuk mendukung pengembangan budidaya yang berkelanjutan, agar ketersediaan lobster di alam tetap terjaga.
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan riset mengenai informasi terkait status pengelolaan sumberdaya lobster, serta potensi pengelolaan sumberdaya lobster alam tersebut melalui budidaya yang diharapkan dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir, khususnya nelayan penangkap lobster di kawasan perairan Pangandaran Jawa Barat.
Sudah dilakukan penelittian dengan lokasi dalam penelitian ini berada 3 stasiun yaitu stasiun 1 Pantai madasari (Jl. Pantai Wisata, Masawah, Cimerak) (7o 47’ 29.076” LS, 108o 29 47.2158” BT), Stasiun 2 Pantai Timur Pangandaran (Jl. Pantai Timur Pananjung) (7o 42’ 4.8198” LS, 108o 39 30.0168” BT) dan stasiun 3 Pantai Majengklak (Pamotan, Kec. Kalipucang) (7o 40 23.1888” LS, 108o 47’ 58.7646” BT).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Sumber : Peta Magister Konservasi Laut Universitas Padjadjaran
Lobster selama ini adalah komoditas yang sering diekspor karena harga ekspor yang cukup tinggi. Harga tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan harga jual lobster setelah dilakukan pembesaran. Permasalahan yang terjadi dalam pembesaran lobster adalah benih lobster, hingga saat ini masih mengandalkan pasokan dari alam, plus SDM-nya belum berhasil melakukan pembenihan. Diperlukan studi lebih dalam mengenai potensi budidaya lobster di Indonesia. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah telah mengatur zonasi atau wilayah yang potensial untuk budidaya lobster. Permen KP No. 12/2020 mengatur tentang kebijakan pengembangan budidaya lobster di Indonesia.
Sejatinya, Kabupaten Pangandaran merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang potensial untuk budidaya lobster. Hal itu ditandai adanya sumber benih dari alam dan kelompok masyarakat yang melakukan budidaya lobster di Pangandaran. Pada 9 Mei 2020 didapat data bahwa di antaranya ada 9 kelompok pembudidaya lobster dan 135 petak KJA di Tasikmalaya dan Pangandaran. Pada tahun 2024 ditargetkan oleh pemerintah jumlah produksi lobster sebanyak 7.220 ton, yang membutuhkan benih 51.571.500.
Saat ini budidaya lobster tidak bisa dilakukan di pantai Madasari karena kondisi laut yang kurang mendukung untuk budidaya lobster, karena arusnya yang besar. Sedangkan di pantai Majingklak tidak dilakukan karena nelayan belum memiliki pengetahuan tentang budidaya lobster dan proses budidaya lobster yang lama. Budidaya lobster memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai baku mutu. Selain ketersediaan benih, menurut Junaidi et al, 2018 ada beberapa parameter untuk budidaya lobster, diantaranya tingkat kesuburan perairan yang menjadi sumber makanan khususnya pada stadia larva phyllosoma dan puerulus. Seperti budidaya biota laut pada umumnya parameter lainnya yang berpengaruh adalah suhu air, pH, salinitas, kecerahan, kekeruhan, oksigen terlarut, nitrat dan fosfat.
Kesimpulan …
Berdasarkan hasil dari riset dapat diambil kesimpulan bahwa berdasarkan data hasil pada lokasi Perairan Madasari (ST.1), Pantai Timur Pangandaran (ST.2), dan Majingklak (ST.3) terdiri dari 8 spesies dari genus panulirus ada 6 spesies, dan dari genus Thenus ada 2 spesies. Persentase hasil tangkapan lobster yang didaratkan di 3 stasiun lokasi penelitian jenis lobster tertinggi yaitu pada lobster Pasir (Panulirus homarus), dan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2020. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring (Trammel net). Harga lobster menyesuaikan dengan jenis dan ukuran. Pada dasarnya nelayan di Pangandaran patuh terhadap peraturan, yaitu tidak menangkap benur, di 3 stasiun dan tidak melakukan budidaya lobster. Pada akhir tahun 2021 Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Padjadjaran melakukan budidaya Lobster di stasiun 2 yaitu di Pantai Timur Pangandaran. (HS/RR)
Referensi :
Priyambodo, B. 2021. Pengembangan Budidaya Lobster di Tanah Air, Tantangan dan Peluang.
Peterson, L., Jones, C., and Priyambodo, D. 2013. Bioeconomics of Spiny Lobster Farming in Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Development.
Rostika . R., I. Rahayu, H. Pertiwi, T. Herawati1, G Naomi N.T. 2022. Spiny Lobster Resource Management To Support Sustanable Fisheries: A Case Study In The Pangandaran Area Of West Java Province
0 Komentar